Walk along ONG

Walk Along ONG
Berjalan Bersama ONG
I walk alongside my Indonesian grandmother, she’s by my left side, our arms entwined to support each other on our path. In my right arm I carry a terracotta vase while we converse. We stop, I hold the vase with both hands, lift it over my head and throw it on the ground, smashing it into thousands of pieces.
Aku berjalan beriringan dengan nenekku, seorang Indonesia. Ia berada di samping kiriku, kami bergandengan tangan untuk saling menguatkan di sepanjang jalan setapak yang kami tempuh. Kami berhenti, aku menggenggam vas dengan kedua tangan, mengangkatnya ke atas kepala lalu melemparkannya ke tanah, menghancurkannya menjadi ribuan keping.

Ong King Nio / Mammie / Gramma died four years before my birth and was buried where she migrated, Brazil. Thirty-five years after her death we return to Indonesia, and this time she follows as a company beyond life, a subtle presence. Besides this long wait to return, it is also the 60th year since she and her family left Indonesia behind.
These six decades after departing are not enough to erase the feeling of belonging to a place.
As I carry this feeling myself, it also makes me question, why migrate? For what reasons does one migrate? What makes one move, to create movement?
Stability and certainty surely does not promote these needs — if everything is stable, then why leave?
Perhaps not being able to see possibilities, to plan or to predict futures:
uncertainty begins to slither
Ong King Nio / Mammie / Nenek meninggal empat tahun sebelum aku lahir dan dimakamkan di tempat ia bermigrasi, Brasil. Tiga puluh lima tahun setelah kematiannya kami kembali ke Indonesia, dan kali ini ia hadir sebagai penyerta di balik kehidupan, sebuah kehadiran yang limun. Tak hanya menjadi penantian panjang untuk kembali, tetapi ini adalah 60 tahun sejak ia dan keluarga kami meninggalkan Indonesia.
Enam dekade setelah kepergian ini tak cukup untuk menghapus perasaan memiliki suatu tempat.
Oleh karena aku juga memiliki perasaan itu, aku bertanya, mengapa bermigrasi? Atas alasan apa seseorang bermigrasi? Apa yang membuat seseorang bergerak, atau membuat pergerakan?
Kestabilan dan kepastian jelas bukan yang mendorong kebutuhan ini – bila semuanya stabil, lantas mengapa meninggalkannya
Mungkin karena tak dapat melihat kemungkinan untuk merancang dan memperkirakan masa depan.
ketidakpastian mulai menyelinap

After 60 years, or 21,915 days, I reverse the migration trajectory and arrive at the place they left behind, leaving the place where they arrived. They left to have a future and I am one of the outcomes.
Here I understand one thing we have in common: the uncertainty of the time ahead on a loop.
What they faced as uncertainties have now become facts — I transform my uncertainty into a consultation asking for their guidance: I need to access their memories to develop faith.
I become an amorphous stone to visit the past as a testimony of a life trajectory. Witnessing the passage of time, as a non-human, I can see the exact moment when they realized they could no longer stay where they were.
One day washing the dishes, a series of recent memories, rumors, images from the streets, words in newspapers connected and took the dimension of a feeling —
To Leave.
Before sleeping, they made longs lists of all the things that needed to be done the next day, and at the end an extra item —
To Exit.
In the daylight, as we leave my Indonesian grandfather’s funeral, a comet breaks the atmosphere and shoots off into the horizon. My father, who’s driving the car, says it is the apparition of his father’s final farewell —
To Exist.
Setelah 60 tahun, atau 21,915 hari, aku membalik arahku bermigrasi dan tiba di suatu tempat yang mereka tinggalkan, meninggalkan tempat di mana mereka tiba. Mereka pergi untuk sebuah masa depan, dan aku adalah salah satunya.
Di sini aku memahami satu hal yang kami miliki bersama: ketidakpastian waktu ke depan yang berulang.
Apa yang mereka hadapi sebagai ketidakpastian saat ini berubah menjadi fakta — Aku mengubah ketidakpastianku menjadi permintaan kepada mereka untuk sebuah tuntunan: Aku membutuhkan jalan menuju ingatan mereka untuk menguatkan keyakinan.
Aku menjadi sebuah batu tak berbentuk untuk mengunjungi masa lalu sebagai saksi atas sebuah lintasan kehidupan. Menyaksikan berlalunya waktu, tidak lagi sebagai manusia, aku dapat melihat, tepat di saat mereka menyadari bahwa mereka tidak lagi bisa tinggal lebih lama di tempat mereka sebelumnya.
Suatu hari saat mencuci piring, sebuah rangkaian ingatan baru-baru ini, rumor, gambar di jalanan, kata-kata di surat kabar terhubung dan mengambil dimensi perasaan —
Meninggalkan.
Sebelum tidur mereka merangkai daftar panjang tentang segala hal yang harus diselesaikan esok hari, dan ihwal tambahan di bagian akhir —
Keluar.
Siang hari, ketika kami meninggalkan pemakaman kakekku yang seorang Indonesia, sebuah komet menghantam atmosfer dan melesat ke cakrawala. Ayahku yang sedang mengemudi mobil berkata bahwa itu adalah penampakan dari perpisahan terakhir ayahnya —
Mewujud.

I remember feeling my extended Indonesian family as if they were strangers. Until I became a foreigner myself in the place where I was born — a stranger within. I needed to approach them, hear their stories in order for me to embrace this identity.
What does it take to be a “forever stranger”?
As the social political changes were unfolding in 1950’s Indonesia, they became foreigners in the place where they were born: Java Island. After migrating to Brazil as the first Indonesian family to settle there, they turned into solitary foreigners. Most of their children grew up without active memories of their past lives. But now their grandchildren carry a portion of this displacement as well. I chose to come back to Indonesia. My past and ascendency also places me in this uncertainty, a local and a stranger in a suspended state of belonging.
As I begin to understand the pieces of this debris, I now know where these escombros belong to: a structure. I deal with new information that comprises this “narrative skeleton”. An archeological search finds a tiny lonely bone, and years later the conjunction with the rest of the body slowly reveals itself – every new bone is a new crack. These bones have memories of the hardships they went through. Every new piece of information about my ancestors’ story provokes new feelings and questions:
What were their emotional reactions to this movement?
How does it feel to realize you have to leave everything behind?
Did fear strike them at the idea of having to migrate to an unknown country?
Or were they feeling hopeful?
Or just sick and tired of everything?
They trusted the possibility of creation and that those after them could inherit their memories through affection and this feeling could be harvested beyond life.
The vase,
the bones,
the path,
the memories —
all of these are foundations.
Aku ingat bagaimana keluarga besar Indonesiaku merasa bahwa mereka seolah-olah adalah orang asing. Hingga pada akhirnya aku sendiri menjadi orang asing di tempat kelahiranku – orang asing di dalam. Aku butuh mendekati mereka, mendengar kisah-kisahnya agar aku dapat menerima identitasku.
Apa yang dibutuhkan untuk “selamanya menjadi orang asing”?
Sosial politik Indonesia berubah di 1950-an, mereka pun menjadi orang-orang asing di tempat kelahirannya: pulau Jawa. Setelah bermigrasi ke Brasil sebagai keluarga Indonesia yang menetap di sana, mereka berubah menjadi orang asing yang sendirian. Sebagian besar dari anak-anaknya tumbuh tanpa ingatan kuat tentang kehidupan lampaunya. Namun, kini cucu-cucu mereka juga turut mengusung bagian dari keterasingan ini. Aku memilih kembali ke Indonesia. Masa lalu dan kuasaku juga menempatkanku dalam ketidakpastian ini, seorang lokal dan asing di dalam ketertambatan yang tertunda.
Ketika aku mulai memahami bagian-bagian dari serpihan ini, aku mengerti bahwa escombros ini adalah bagian dari sebuah struktur. Aku berurusan dengan informasi baru yang terdiri dari “tulang rangka naratif” ini. Sebuah penelitian arkeologis untuk menemukan tulang kecil yang kesepian, di tahun-tahun berikutnya rangkaian dari sisa-sisa tubuh lainnya mulai menampakkan diri – setiap tulang baru merupakan sebuah retakan baru. Tulang belulang ini memiliki ingatan tentang kesusahan yang telah mereka lalui. Setiap bagian baru dari informasi tentang leluhurku, kisah yang membangkitkan perasaan-perasaan dan pertanyaan baru:
Apa reaksi emosional mereka terhadap pergerakan ini?
Bagaimana rasanya menyadari bahwa kamu harus meninggalkan segalanya?
Apakah pada waktu itu ketakutan menyelimuti mereka atas pikiran untuk pindah ke negeri berantah?
Ataukah mereka merasa penuh harapan?
Atau hanya muak dan lelah dengan segalanya?
Mereka mempercayai kemungkinan penciptaan dan bahwa orang-orang setelahnya akan dapat mewarisi ingatan mereka melalui kasih sayang, dan perasaan ini akan dapat dipanen melampaui kehidupan.
Vas,
tulang-belulang,
setapak,
ingatan —
semua ini ada pondasi.
