Skip to content
  • Home
  • Jilid I
  • Jilid II
  • Jilid III
  • Jilid IV
  • Public Discussion
  • About
  • Credits
  • Contact
  • Home
  • Jilid I
  • Jilid II
  • Jilid III
  • Jilid IV
  • Public Discussion
  • About
    • Credits
    • Contact

Jungle Boy / Anak Rimba

Ada beberapa bagian di komik Wiro yang masih mengacu pada wacana kolonial, dualisme kulit hitam dan putih, satu inferior (pribumi) -> Wiro? dan satu superior (Dr. Watson dan Miss Lana). Bagaimana dengan posisi Wiro sebagai protagonis? Apakah dia menjadi sekutu orang kulit putih (US) untuk menjelajah Nusantara? Sejauh mana kesetiaannya kepeduliannya pada suku-suku pedalaman?

There are several parts in the komik Wiro that refer to colonial discourse, the dualism of white and black skin, one inferior (indigenous) -> Wiro? and one superior (Dr. Watson and Miss Lana). How is Wiro positioned as the protagonist? Is he the ally of the whites (US) in exploring the Archipelago? How far is he faithful to understanding inland tribes?

Bagaimana Wiro melepas/tidak melepas ikatan sindrom kolonial?

How is Wiro detaching from a colonial syndrome? 

Wiro terbit 11 tahun setelah tahun kemerdekaan, 1945. Ada politik identitas dalam wacana pascakolonial yang hadir. Wiro tampak berkulit putih, lahir di Jawa (native – non-native?) -> identitas yang hybrid! Mengenai pengarangnya, apakah Wiro juga berasal dari kelompok etnis tertentu (Tionghoa)? Apakah ketika dia makan babi hutan adalah tanda untuk menyatakan itu?

Wiro was published 11 years after the independence year, 1945. The politics of identity are present in the postcolonial discourse. Wiro looks like a white skin boy, born in Java (native – non-native?) -> hybrid identity! Knowing the author, is Wiro also part of a specific ethnic group (Tionghoa)? When he eats a wild pig is this a sign to state that?

Bagaimana Wiro hadir sebagai sebuah cerita gambar yang Indonesia-sentris? Bukankah dia juga Jawa-sentris dalam melihat “gerombolan orang-orang liar” di pulau-pulau luar Jawa? Kenapa Jawa digambarkan hanya sebagai kota, maju, tanpa kehadiran suku-suku ala National Geographic?

How is Wiro present as a pictorial story that is Indonesia centric? Isn’t it also Java centric when looking at “wild people” in the islands outside Java? Why is Java portrayed only as an urban, developed place, without the presence of tribes ala National Geographic? 

Redaksi HAI, “Wiro Masih Tetap Unggul”, Majalah HAI, no. 26, th. IV, 1980. Image Courtesy of Sukri S.
Mikke Susanto, “Wiro Awal Komik Modern”, Majalah Tempo, 10 November 2002. Archive Courtesy of Mikke Susanto.
Seno Gumira Ajidarma, “Komik Indonesia: Dunia tanpa Arsip”, Majalah Tempo, 17 November 2002. Archive Courtesy of Mikke Susanto.

Imajinasi seperti apakah yang didapatkan anak-anak Indonesia tentang fauna dan flora Nusantara? Apakah di Indonesia ada badak dan kanguru?

What forms of imagination are passed down to Indonesian children about the fauna and flora of the Archipelago? Is there rhinoceros or kangaroo in Indonesia? 

Salah satu sumber alternatif bagi konstruksi identitas kebangsaan Indonesia (menurut Pak Seno Gumira). Atau sebuah alegori konteks sosio-politik pada masa pasca-kolonial/kemerdekaan? Terkait politik identitas, imagined communities (komunitas terbayang), modernitas.

One of alternative sources for the construction of an Indonesian national identity (according to Pak Seno Gumira). Or is it an allegory for the socio-political context of the post-colonial/independence time? Related to the politics of identity, imagined communities, and modernity. 

Apakah Wiro adalah seorang liar yang baik? Atau seorang neo-kolonial?

Is Wiro a good savage? Or a neo-colonial?

Setelah melalui semua petualangan di hutan Indonesia, Wiro kembali ke rumah untuk menjalani kehidupan modern: dia membuka bisnis, menggunakan becak, kembali ke sekolah, dan menjadi karakter kelas menengah perkotaan dengan waktu yang luang, pendidikan, dan teknologi, menjadi bagian dari kehidupan yang mapan.

After going through all the adventures in the jungles of Indonesia, Wiro returns home to embrace a modern life: he opens a business, uses a pedicab, goes back to school, and becomes an urban middle class character for which leisure, education, and technology became part of the good life.

Bambang Bujono, Wiro “Anak Rimba Indonesia”, #89 dalam 100 catatan yang merekam perjalanan sebuah negri, Tempo edisi khusus Kebangkitan Nasional 1908-2008, 28 Mei 2008.
Seno Gumira Ajidarma, “Put On, Wiro, Dai Nippon”, materi diskusi dalam katalog Bingkisan Revolusi 71 Tahun RI (Jakarta: Galeri Foto Jurnalistik Antara, 2016). Courtesy of Seno Gumira Ajidarma.
Arswendo Atmowiloto, “Wiro, Tarzan yang Faham Lingkungan *Tarzan Wanita Mendapat Peranan Sama”, Harian Kompas, Sabtu 13 Desember 1980.

Seno Gumira Ajidarma, “Wiro dan Sindrom Kolonial”, Harian Kompas, Minggu 5 Desember 2010. Courtesy of Seno Gumira Ajidarma
Sukri S., Komik WARO Kontra Bajak-Laut Jilid 1, diterbit 1974 oleh Maranatha. Courtesy of Sukri S.
Sukri S., Komik WARO Anak Didikan Rimba, Jilid 2, diterbit 1974 oleh Maranatha. Courtesy of Sukri S.

Back to Jilid IV’s Homepage

The Spectres of Wiro

Next Post

Uncle Wiro

Create a website or blog at WordPress.com

Cancel